×
STUDILMU Career Advice - Bagaimana Kita Mengenali Downtime?
Leadership

Bagaimana Kita Mengenali Downtime?

STUDILMU Users By STUDiLMU Editor

Saya masih ingat betul, keheranan saya beberapa tahun lalu ketika mengerjakan tugas akhir kuliah, perancangan pabrik. Ternyata, yang waktu itu dalam benak saya, sebuah pabrik jika berjalan non stop akan memberikan keuntungan yang besar, adalah salah besar. Saya harus me-revisi tugas saya dengan menambahkan perhitungan waktu shut down. Waktu shut down atau mungkin beberapa kalangan menyebutnya downtime, adalah waktu yang dijadwalkan dalam jangka tertentu sebuah mesin harus berhenti beroperasi.
 
Dalam industry, waktu satu detik saja sangat bernilai. Untuk menghasilkan produk sesuai target perusahaan, hitungan produksi per detiknya sangat berharga. Lalu, menyambung perihal keheranan saya, mengapa harus ada downtime? Mengapa tidak dibuat non stop saja? Padahal kan system kerjanya menggunakan mesin, tenaga manusia sudah mengalami jadwal shift yang memungkinkan mereka beristirahat dengan cukup.
 
Namun ternyata, waktu shut down atau downtime sangat penting, bahkan bagi mesin sekalipun. Biasanya waktu shut down ini digunakan untuk maintenance, pengecekan kembali part- part yang ada dalam mesin tersebut, memberikan pelumas, memeriksa sambungan pipa, memastikan tidak ada kebocoran, dan berbagai tindakan preventif lainnya. 
 
Apa akibatnya jika kita melewatkan waktu shut down ini? Mesin akan bekerja terus-menerus non stop, hingga waktu tertentu mesin tersebut akan terlalu panas karena gesekan-gesekan akibat pergerakan mesin. Dan bisa dipastikan mesin yang beroperasi tanpa jeda, tanpa melalui shut down, umurnya tidak akan lebih lama dibandingkan dengan mesin yang secara rutin menjalani shut down. Mesin yang panas akan berhenti beroperasi, mati, atau bahkan bisa menjadi rusak, tidak bisa dipakai lagi. 
 
Sama-sama berhenti beroperasi, tapi shut down yang direncanakan untuk maintenance menjadi pilihan terbaik dibandingkan mesin tersebut mati karena rusak. Untuk itulah setiap jangka waktu tertentu, yang berbeda tiap jenis mesinnya, harus dijadwalkan untuk shut down demi menjalani maintenance rutin.
 
Jika mesin saja perlu waktu rehat sejenak, apalagi kita yang tenaga dan konsentrasi kerjanya terbatas. 
 
Dulu ketika kita masih karyawan, bekerja untuk diri sendiri, belum memegang tanggung jawab team, mungkin kita belum merasakan beban kerja, tekanan, kelelahan, dan aneka rupa kekhawatiran yang menggerogoti pikiran, layaknya yang sekarang kita rasakan sebagai seorang leader. Kalau saat belum memegang tanggungjawab yang lebih besar saja, kita merasakan kebutuhan akan waktu istirahat, apalagi sekarang. 
 
Dengan begitu banyak pekerjaan, rencana yang harus dieksekusi, tuntutan target yang harus direalisasi, tekanan berbagai pihak yang perlu direspon segera, kinerja team yang mendesak untuk di-develop, dan banyak hal lain yang seakan-akan berteriak di sekeliling kita meminta perhatian kita dalam waktu yang sama. Anda bisa bayangkan, dan bahkan Anda sendiri alami, keadaan seperti itu yang dihadapi oleh seorang leader. 
 
Management waktu mutlak dikuasai oleh seorang leader, namun tak kalah pentingnya adalah manajemen stress. Serangan bertubi-tubi dari setiap permintaan yang membutuhkan tindakan kita, bisa kita kelola. Meskipun tidak mudah untuk melakukannya, namun tiap leader harus mengembangkan keterampilan stress manajemen ini, jika ingin kinerja kita dan performa team maksimal.
 
Salah satu tindakan yang bisa kita ambil untuk meningkatkan kinerja kita adalah, dengan menjadwalkan downtime. Ingat, menjadwalkan, berarti dengan sengaja membuat rencana kapan dan bagaimana kita akan melakukan downtime.
 
Menjadi tidak efektif ketika kita baru melakukan downtime saat kelelahan kita rasakan, waktu pikiran mulai tidak fokus, ketika kita merasa butuh. Mengapa begitu? Bukankah hal yang baik saat kita merasakan kebutuhan istirahat lalu kita memilih untuk beristirahat?
 
Kembali ke tugas perancangan saya, downtime untuk mesin pabrik yang saya rancang, tidak dilakukan saat mesin sudah mulai merasa panas, bukan pula diberlakukan ketika kita merasa mesin tidak bekerja maksimal dan butuh istirahat supaya tidak semakin panas. Downtime dalam mesin pabrik yang saya rancang haruslah dijadwalkan, ada beberapa mesin yang harus downtime tiap 3 bulan sekali dan ada pula yang melakukan downtime 2 kali dalam setahun. Ini tergantung dari jenis dan kapasitas mesin-mesin tersebut.
 
Untuk bisa menjadwalkan downtime kita, terlebih dahulu kita perlu mengenali kemampuan kita. Berapa lama kita maksimal mengerjakan suatu pekerjaan atau project terus-menerus dengan fokus dan konsentrasi yang optimal? Dan selanjutnya, sebenarnya berapa lama downtime yang kita butuhkan? Masing – masing leader akan memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. 
 
Penjadwalan juga dimaksudkan supaya downtime kita tidak bentrok dengan project-project dari bagian lain yang membutuhkan peran kita. Downtime mesin A tidak mungkin dilakukan jika ada mesin lain, misal mesin B, yang harus tetap beroperasi namun membutuhkan output dari mesin A. 
 
Jangan sampai ketika kita melakukan downtime, sebenarnya banyak pihak sedang membutuhkan keberadaan, keputusan, pertimbangan, maupun approval dari kita. Jangan melakukan downtime jika itu mengganggu proses lainnya. 
 
Hal lain yang menjadi pertimbangan saat kita memutuskan untuk melakukan downtime adalah, bagaimana cara kita melakukan downtime, supaya kinerja kita maksimal, bukan untuk alasan lainnya. Downtime di pabrik seperti yang saya ceritakan tadi tidak berarti berhenti total, tidak melakukan aktifitas apapun. Karena tujuan downtime kita adalah supaya kinerja kita maksimal, maka kita pun perlu melakukan hal-hal yang membuat kita lebih produktif.
 
Yang sudah pasti ada dan tersedia bagi setiap orang yang bekerja, adalah, weekend. Akhir pekan diberlakukan dengan fungsi yang sama seperti downtime, yaitu supaya kinerja kita maksimal dan produktif di hari-hari berikutnya. 
 
Ironisnya, akhir pekan ini seringkali disalahgunakan sehingga muncullah istilah “I hate Monday”. Orang merasa berat menghadapi hari Senin. Mengapa? Karena weekend digunakan habis-habisan untuk bersenang-senang. Bukan berarti kita tidak boleh bersenang-senang. Namun bersenang-senang hingga menghabiskan seluruh sisa energi kita bukanlah tindakan bijaksana. Secara fisik, tubuh kita ada batasnya. Jika 5 hari sebelumnya sudah banyak energi terbuang untuk bekerja, maka seharusnya weekend adalah waktu untuk “recharge” energi kita, bukan sebaliknya menghabiskan sisa-sisa energi yang ada. 
 
Weekend yang efektif me-recharge energi misalnya dengan berkumpul bersama keluarga, melakukan aktifitas santai di rumah, atau di tempat wisata yang menyejukkan, berolahraga, melakukan hobby dan kegemaran kita. Namun juga tidak lupa mengistirahatkan jasmani kita, memberikan waktu tidur cukup untuk mengembalikan energi dan mood bekerja kita di hari Senin nantinya.
 
Selain weekend, fasilitas downtime yang sebenarnya juga disediakan bagi para pekerja adalah cuti tahunan. Sama seperti aturan pengambilan downtime tadi, sebaiknya cuti tahunan juga dijadwalkan, dan sebisa mungkin tidak sampai mengganggu proses/bagian lainnya. Dengan cuti tahunan yang mungkin dikombinasikan dengan weekend, akan lebih banyak pilihan downtime yang bisa kita lakukan, karena waktunya lebih panjang. Liburan keluar kota, melakukan social project, berkomunitas, dan lain-lain. Tentu saja, jangan lupa memastikan untuk istirahat yang cukup, karena fungsi utama downtime ini untuk mengembalikan stamina dan semangat, sehingga ketika kita kembali memasuki hari kerja sudah akan lebih produktif dari sebelumnya. 
 
Pada dasarnya karena downtime ini bisa mempunyai definisi yang sangat luas, kita bisa “menciptakan” downtime sendiri di waktu-waktu kerja kita. Mengambil waktu 5 menit untuk stretching di sela jam kerja kita, atau menyempatkan diri untuk tidur siang sebentar selama 15 menit (napping), akan membuat kita lebih segar dan lebih produktif lagi. Sekali lagi, ingatlah bahwa ini semua harus direncanakan. Rencana itulah yang membatasi kita dari keteledoran waktu kerja kita.
 
Sebagai seorang leader, downtime sangat dibutuhkan mengingat beban berat, tanggungjawab ganda (atau bahkan mungkin mencapai “triple”), dan peran yang lebih besar yang seakan-akan selalu memburu dan mengejar kita dengan berbagai macam target dan tekanan. Jadwalkan downtime Anda, buatlah hidup Anda sebagai leader semakin produktif dan inspiring. 

Featured Career Advice