×
STUDILMU Career Advice - Coaching dan Kinerja Bisnis
Coaching

Coaching dan Kinerja Bisnis

STUDILMU Users By Susanti Yahya

Bisakah Anda bayangkan bagaimana karyawan bekerja di bawah beragam tekanan? Atau, mari coba mengingat tekanan yang pernah kita rasakan di awal meniti karir. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat, kemacetan jalan raya yang kian parah, persoalan antar pribadi di tempat kerja, dan sebagainya. Akan lebih terasa menguras energi dan kewarasan bila tidak ada sosok tempat berkeluh kesah dan meminta bantuan. Tekanan yang semakin tinggi pasti akan berdampak serius pada stress di tempat kerja bila tidak segera diatasi. Perusahaan yang mengabaikan permasalahan ‘sepele’ tersebut akan terganggu di kemudian hari.

Coaching menjadi salah satu ruang bagi karyawan untuk ‘duduk diam’bersama masalahnya, dengan atasan maupun sosok lain sebagai fasilitatornya. Coaching seyogyanya bukan dimaksudkan hanya mengatasi, tetapi terlebih mengantisipasi agar tidak timbul masalah baru. Dengan terbantunya karyawan mengatasi persoalan, ia diharapkan bisa bekerja lebih baik lagi. Dan pada akhirnya bermuara pada peningkatan performa kerja. Jadi jika Anda memiliki pertanyaan “Apa untungnya coaching bagi saya sebagai manajer?”, pembahasan kita di atas tentu sudah menjadi jawaban yang cukup.

Jika Anda masih ragu dengan peran strategis coaching, hasil riset yang dipaparkan John H. Zenger dalam The Extraordinary Coach pasti dapat meyakinkan Anda. Data riset ini obyektivitasnya cukup terpercaya, dikumpulkan berdasarkan berbagai sumber (atasan, rekan kerja, bawahan, pelanggan, dan pihak lainnya) yang disebut metode umpan balik 360 derajat.

Lima temuan riset yang menyimpulkan adanya hubungan antara coaching dengan kinerja perusahaan tersebut, antara lain:

  • Hubungan positif antara coaching dengan tingginya kepuasan dan komitmen karyawan.
  • Hubungan positif antara coaching dengan upaya-upaya karyawan secara keseluruhan.
  • Hubungan positif antara coaching dan umpan balik yang diterima karyawan efektivitas dengan keterlibatannya dalam organisasi.
  • Hubungan negatif antara coaching dengan niat karyawan untuk keluar dari pekerjaan.
  • Hubungan positif antara coaching yang diterima karyawan dengan penilaian terhadap kinerja manajernya. 

Jadi mengapa masih ragu melakukan coaching, jika manfaatnya begitu positif dan mendukung kinerja kita dan team kita? Atau masih ada sanggahan-sanggahan keberatan di benak Anda, seperti segelintir leader lainnya?

“Berapa lama lagi waktu yang harus saya tambahkan dengan adanya coaching?”

“Berapa jam lagi saya harus terlambat pulang setiap harinya?”

“Apa lagi yang mau saya bicarakan bersama mereka?”

“Mengapa saya harus memberi coaching, sedangkan dulu atasan saya pun tidak pernah melakukannya?”

Dan masih banyak pertanyaan lain yang efektif menghalangi niat baik para atasan untuk memulai coaching

Jika pertanyaan-pertanyaan di atas masih mengganggu, silahkan simak uraian berikut. Sebaliknya, jika Anda yakin untuk mulai melakukan coachingyang efektif bagi bawahan Anda, abaikan saja tulisan tersebut, dan silakan langsung ke bab berikutnya. 

Seorang manajer, sebut saja Steve, tergolong paling senior di kantornya. Sebagai salah satu senior di kantor, ia menjadi andalan karena mengetahui banyak hal kunci dalam pekerjaan. Informasi penting seolah-olah menjadi monopolinya, karena Steve tergolong orang yang sulit berbagi dengan yang lain. Dalam keseharian, ia lebih suka bekerja sendiri di belakang meja dan komputernya. Bahkan pada jam istirahat, ia lebih suka berinteraksi dengan sahabat-sahabat dunia mayanya di facebook.

Banyak hal penting seolah-olah menjadi satu-satunya kewenangannya. Perannya menjadi begitu besar, karena ia tidak suka mendelegasikan pekerjaannya kepada anak buah. Akibatnya, situasi menjadi sulit, ketika sehari saja dia tidak masuk kantor. Untuk setiap momen yang rutin dan terencana, seperti pameran misalnya, tetap saja tidak bisa terlaksana dengan baik.Semuanya dikerjakan di bawah kendali langsung dirinya, walauwaktunya sudah mendesak.Situasi kerja seperti di atas tentu saja selalu membawa ketegangan dan menambah tekanan bagi para anak buahnya. Bisa kitabayangkan rasanya jika kita terus menerus takut salah mengambil langkah, atau tidak kunjung memuaskan atasan dan tidak bisa memutuskan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas, padahal tengat waktu sudah membayang?

Bila ditelisik lebih jauh, bisa diperkirakan bila Steve tidak pernah melakukan coaching kepada anak buahnya. Jangankan melakukan coaching, untuk berbasa-basi dengan anak buahnya saja ia tidak pernah menyempatkan diri. Ia tampak sebagai orang yang paling sibuk di tempat kerjanya. Seolah tidak ada waktu baginya untuk duduk-duduk santai di meja kerjanya.  Steve tampaknya bukan tipe orang yang mudah percaya kepada sembarang orang. Banyak orang menebak ia mengincar posisi tertinggi di bagiannya.

Bagaimana pendapat Anda tentang sosok Steve? Benar, tak ada yang salah dengan motivasi Steve untuk mengejar karir. Namun dengan tidak mau bekerja sama dengan semua anak buahnya, Steve justru merugikan kinerja timnya. Lebih jauh lagi, Steve yang tidak pernah mau meluangkan waktu untuk melakukan coaching, justru akan kehilangan lebih banyak waktunya, dan juga kesempatan mengejar karirnya. Mengapa demikian? Mari kita urai benang merahnya.                                                                                                                   

Tanpa coaching, anak buah Steve tidak akan pernah mampu bekerja lebih baik dari sebelumnya. Akibatnya, Steve tidak akan pernah mau dan berani mendelegasikan tugasnya kepada mereka.Di sisi lain, sebagai atasan, Steve akan mengalami kerugian. Ia tidak akan pernah memberi kepercayaan kepada anak buahnya untuk melakukan tugas yang lebih besar. Akibatnya, Steve harus mengerjakan sendiri banyak tugas rutin dan kehilangan banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang sifatnya lebih penting.

Bayangkan, apa yang terjadi bila Steve akhirnya mendapatkan kesempatan untuk promosi? Apakah sudah ada salah satu dari anak buah Steve yang siap menggantikan posisinya? Steve tidak pernah melakukan kaderisasi, sehingga tidak ada anak buah yang siap untuk menggantikannya. Padahal jika ia melakukan coaching, proses kaderisasi akan terjadi dengan sendirinya. Dan akhirnya, alih-alih mempromosikan Steve, perusahaan merekrut pendatang baru. Sounds familiar? Yah, isu tentang kekosongan posisi yang diisi oleh orang luar tentu pernah kita dengar atau saksikan (atau bahkan alami?). Tidak sedikit yang mempertanyakan “Mengapa?”, dan menggerutu “Mengapa bukan saya?”. Kini kita bisa sama-sama melihat alasannya dengan jelas: karena manajemen tidak menemukan orang yang siap menggantikan Steve.

Menurut buku Extraordinary Leaders, ada enam belas kompetensi untuk menjadi seorang pemimpin yang luar biasa. Dua diantaranya adalah (1) kompetensi mendorong orang agar mencapai hasil dan (2) melakukan coaching dan mentoring kepada orang lain. Dengan memiliki kompetensi 1 dan tidak memiliki kompetensi ke-2, seorang pemimpin akan meningkat efektivitasnya sebagai pemimpin yang luar biasa sebanyak 7%. Sementara bila ia memiliki kompetensi 2 dan tidak punya kompetensi 1, efektivitasnya sebagai pemimpin yang luar biasa adalah 4%. Tetapi apa yang terjadi bila kedua kompetensi tersebut digabungkan?Efektivitas seorang pemimpin melejit naik ke angka 85%.

Jika ingin menyelenggarakan training Coaching, silakan menghubungi kami di:
021 29578599 (Hunting)
021 29578602 (Hunting)
0821 1199 7750 (Mobile)
0813 8337 7577 (Mobile)
info@studilmu.com

Featured Career Advice