×
STUDILMU Career Advice - Konflik dalam Tim
Leadership

Konflik dalam Tim

STUDILMU Users By STUDiLMU Editor

 
Bagi kebanyakan orang, istilah konflik organisasi mempunyai konotasi negatif bahwa konflik itu buruk (orang mungkin bisa melihat efek konflik internal di dalam salah satu partai politik baru-baru ini). Setiap konflik dianggap berdampak negatif terhadap efektivitas organisasi. Jika seorang manajer menganut pandangan ini, dengan serta merta ia akan berupaya memadamkan konflik di lingkungannya. Dalam jangka panjang, ia berusaha sekuat tenaga agar tidak timbul konflik di dalam timnya.
 
Benarkah semua konflik negatif? Menurut Michael Feiner, profesor di Graduate School of Business Columbia University, tidak semua konflik itu destruktif. Apabila agenda pribadi yang memicu konflik, menurut Feiner, jelas itu tidak sehat. “Tetapi konflik mengenai gagasan, itu bagus,” ujarnya.
 
Sebagaimana penelitian yang dikutip oleh Stephen Robbins dalam The Truth About Managing People (2009), terdapat tiga konteks konflik: tugas, hubungan, dan proses. Nah, konflik pribadi lazimnya terjadi dalam konteks hubungan interpersonal (relationship) antar orang. Misalnya, sesama anggota tim merasa sulit bekerja sama dan kesulitan itu tidak berkaitan dengan kemampuan kerja atau interaksi yang formal. Pendeknya, bersifat psikologis, misalnya ketidakcocokan kepribadian.
 
Konflik hubungan berbeda dengan konflik tugas dan proses. Konflik tugas berkaitan dengan muatan dan sasaran pekerjaan (target), sedangkan konflik proses berkaitan dengan bagaimana pekerjaan dijalankan. Bukti menunjukkan, tulis Robbins, bahwa konflik hubungan di dalam kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi hampir selalu disfungsional, sedangkan konflik proses dan konflik tugas pada tingkat yang rendah seringkali fungsional.
 
Disfungsional berarti destruktif, sebab mengganggu efektivitas organisasi. Robbins, dalam karyanya yang lain, Teori Organisasi, menggambarkan bahwa tingkat konflik yang tinggi biasanya tidak fungsional. Apa yang berlangsung dalam organisasi adalah suasana yang kacau, semrawut, dan tidak kooperatif. Jelas, dalam hal ini, efektivitas organisasi rendah.
 
Sebaliknya, efektivitas rendah juga ditemui bila organisasi “sunyi sepi” dari konflik. Orang-orang dalam organisasi cenderung apatis, ogah-ogahan, tidak tanggap terhadap perubahan, dan miskin gagasan baru. Masalahnya, manajer pada umumnya tidak menyukai konflik karena takut pada anggapan bahwa ia tidak mampu menjaga kerjasama tim. Ini berpangkal pada persepsi bahwa setiap konflik berkonotasi negatif.
 
Namun, bila dilihat sisi positif dari konflik, pemimpin yang trampil justru akan mendorong debat, perselisihan pendapat, dan diskusi mengenai ide-ide, isu-isu, dan keputusan-keputusan penting. “Semakin tinggi pertaruhan dalam pengambilan suatu keputusan kunci, semakin vital untuk menstimulasi konflik yang sehat,” ujar Freiner. Berbeda dengan konflik yang destruktif, pertarungan ide, kata Freiner, “membawa kepada kreativitas, inovasi, dan perubahan positif karena dari masing-masing benak partisipan muncul ide-ide terbaik.”
 
Robbins juga sependapat. Pada tingkat yang optimal, konflik dapat fungsional, dalam arti membuat organisasi dan orang-orang di dalamnya bergairah, kritis, dan inovatif. Efektivitas organisasi menjadi tinggi, sebab orang berani mengeluarkan gagasan tanpa rasa cemas bahwa perbedaan pandangan akan mengarah kepada konflik personal, kebencian, atau dendam.
 
Kita bisa membayangkan konflik yang tidak sehat dan konflik yang sehat sebagai kolesterol. Kita tahu, ada kolesterol baik dan ada kolesterol jahat. Dengan memikirkan konflik sebagai kolesterol, mungkin Anda akan termotivasi untuk mengubah cara Anda mengerjakan sesuatu. Mungkin cara memimpin tim, mengelola orang, atau mengambil keputusan. Anda akan lebih berdisiplin untuk mengurangi kolesterol jahat dan menambah kolesterol baik.
 
Eksekutif yang paling efektif tahu bagaimana meminimalkan konflik yang buruk sembari menyemaikan konflik yang sehat. Pemimpin yang mampu mengenali sisi buruk dari konflik yang tidak sehat dan sisi baik dari konflik yang sehat akan lebih mampu memanipulasi tingkat-tingkat keragaman kedua konflik tersebut demi kebaikan organisasi. Bila Anda mampu melakukan hal itu, Anda telah menyelamatkan perusahaan Anda dari kemungkinan mengidap corporate coronary, laiknya orang yang selamat dari penyumbatan pembuluh koroner.

Featured Career Advice