×
STUDILMU Career Advice - Menjadi Leader Gaul
Leadership

Menjadi Leader Gaul

STUDILMU Users By STUDiLMU Editor

Menjadi leader berarti harus mau dan mampu mulai merubah segala hal kecil personal yang tampaknya sepele, termasuk tentang membangun relasi. Dulu saat menjadi staff, mungkin Anda masih ingat bagaimana setiap orang banyak menghabiskan waktu dengan team member atau sesama anggota departemen saja. Yang kerja di lantai satu, ya nongkrongnya dengan “anak lantai satu”. Yang di lantai dua, muter-muternya ya di lantai dua. Penghuni lantai tiga, menyindir rekan lantai di bawahnya dengan “Makanya maen-maen dong ke atas, jangan di bawah melulu”. Frontliners menyebut rekan bagian administrasi sebagai “Orang dalam” (karena ruang kerjanya berada lebih ke dalam area kantor). Atau punggawa departemen Marketing yang lebih sering berbaur dengan sesama militan dari Marketing. Main ke Finance cuma kalau ada pengajuan dana, atau cari cemilan nganggur. Pernah melihat pemandangan seperti ini?
 
Masih ada lagi. Saat break time dan berkumpul dalam obrolan ringan, jika ada satu orang saja dengan level jabatan berbeda yang ikut bergabung, keceriaan hampir pasti menurun levelnya. Apalagi jika berasal dari level manajemen, rasanya seolah ada aura mistis yang membuat suasana hening. Meminjam istilah gen Y dan Z, kemudian hening (disertai tiruan bunyi jangkrik, “Krik kriik.. krik kriik..”). Banyak yang merasa tidak nyaman untuk melanjutkan obrolan, sehingga “pestanya bubar”. Pernah ada dalam suasana itu?
 
Kami sendiri masih ingat kecenderungan yang sama yang kami lakukan saat memulai karir. Rasanya sudah cukup jika berkumpul dengan sesama rekan staff saja. Lebih terkerucut, sesama staff departemen yang sama. Jangan sering digabung dengan departemen lain, nggak nyambung. Toh akrab atau tidak dengan departemen lain tidak ada pengaruhnya ke pekerjaan. Hingga akhirnya ada hal yang memaksa kami berubah. Tuntutan pekerjaan.
 
Tugas salah satu penulis di bulan pertama menjadi bagian departemen Customer Care Center di Main Dealer satu brand otomotif, memaksanya untuk menjadi lebih talkatif dan membangun relasi dengan berbagai departemen dan level. Handling complain berat yang menuntut penyelesaian berupa servis dan penggantian spare part yang tidak ready stock, dengan mengorbankan unit baru untuk dipreteli sementara. Sounds “ribet”? Yes, very much. Jika sebelumnya hanya familiar dengan koordinasi ringan antar berbagai departemen di level sama, maka untuk tugas yang satu ini perlu berinteraksi intens dengan Departemen Head lain dan pentolan jaringan, terkait approval dengan banyak shortcut. Gambaran singkatnya seperti ini:
 
Darurat butuh spare part yang belum tersedia di ATPM. Bisa dapat dari mana? Dari produk (unit) yang sama, yang masih baru. Produknya minta ke siapa, yang pasti ada? Ke Marketing, karena itu ranah mereka – stock dan distribusi unit seprovinsi. Butuh approval Marketing Head dan Logistic Head. Masalahnya, unitnya sudah dialokasikan untuk satu jaringan atau belum? Kalau sudah, ke jaringan mana? Harus sounding dan minta persetujuan mereka, juga permisi ke Supervisor Area yang menaungi. Kalau sudah diijinkan, siapa yang bisa mengambil unitnya dan dibawa ke bengkel yang ditunjuk? Lalu siapa yang akan bertanggung jawab memantau pengerjaan bongkar-ambil-pasang sampai finish? Yang bertanggung jawab menyimpan unit pendonor dan penerima donor?
 
Sudah selesai? Belum. Jangan lupa, unit yang habis dirampok spare part nya harus dikembalikan dalam kondisi utuh dan lengkap. Yang artinya, harus berkoordinasi untuk mengajukan percepatan pengadaan part tersebut ke ATPM. Another shortcut approval yang butuh lobi melobi. Dan setelah spare part nya ada, masih harus mengawasi pemulihan unit pendonor, dan koordinasi pengembalian ke jaringan yang berhak. Oh ya, jangan lupa mengurus pengajuan pembebanan seluruh biaya penanganan!
 
Bisa dibayangkan apa jadinya jika penulis hanya bergaul dalam lingkup departemennya saja? Betapa bingung meraba harus bagaimana menangani penyelesaian satu tugas saja. Atau harus menghubungi siapa, berkoordinasi dengan siapa. Sungguh, dalam kasus ini terbukti bahwa menjadi Anak Gaul memang banyak manfaatnya. Dan juga banyak pengaruhnya terhadap pekerjaan. Terlebih untuk seorang leader. Karena network yang luas berperan membantu penyelesaian tugas kita, bahkan pencapaian target kerja. Dengan kata lain, kita perlu menjadi Leader Gaul.
 
Network yang perlu kita bangun tidak lagi hanya linear, tapi juga meruang. Tidak hanya ke kiri dan kanan meja tetangga, tapi perlu ke level atas dan bawah, hingga ke departemen tetangga dan (kalau bisa) segenap isinya. Bukankah akan lebih mudah “meminta bantuan sebagai atasan dari departemen tetangga”, ketimbang “menyuruh staff departemen tetangga membantu penyelesaian tugas departemen lain”? Anda pasti paham perbedaannya. Di sini lagi-lagi interpersonal skill dibutuhkan sebagai penolong.
 
Tidak perlu menunggu disapa (masa boss negor duluan?). Menjadi sosok leader yang gaul tentu saja salah satu cirinya adalah ramah pada siapa saja. Dan tegur sapa adalah langkah awal membangun kedekatan dan engagement dengan lingkungan. Jadi, jika menjadi leader gaul banyak manfaatnya, Anda  yakin tidak mau lebih sering beramah tamah?

Featured Career Advice